|
Mutiara Hikmah
"Dunia ini berkulit halus dan cantik, ibarat seekor ular namun menyimpan racun pembunuh di dalamnya”
Sosok Seorang Ayah..!!! | 02.38 |
komentar (0)
Filed under:
|
PENYESALAN TERDALAM SEORANG SUAMI | 02.34 |
Filed under:
|
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim …
Penyesalan memang selalu datang terlambat pada kehidupan kita, dan
penyesalan terkadang hanya memberi duka yang mendalam pada kita, disaat
mengenang kembali sejarah silam yang menjadi penyebab penyesalan itu
muncul …, demikan yang aku alami saat ini.
Duka yang teramat mendalam itu kini masih mendera dalam lubuk hatiku
yang paling dalam, saat menyadari bahwa saat ini aku tengah kembali
menyendiri, setelah setahun silam orang yang sangat mengasihi aku, orang
yang sangat peduli padaku telah dipanggil oleh Allah.
Aku adalah seorang lelaki yang telah membina mahligai rumah tangga
bersama seorang wanita sholehah sejak tahun 2004 silam, kuakui, memang
pernikahan itu terjadi karena perjodohan yang diinginkan oleh Orang tua
kami masing-masing, sebab orang tuaku dan orang tua maryam (Nama
istriku,-samaran) adalah memiliki ikatan keluarga, ..
.. meskipun ikatan itu tidak terlalu dekat, akan tetapi masa kecil
mereka hingga dewasa dan menikahnya hampir selalu bersama (Ayahku dan
ayahnya maryam berteman sejak kecil) sehingga kesepakatan untuk
menjodohkan kami selaku anak-anaknya tak bisa dielakkan lagi.
Jujur aku sendiri awalnya tidak begitu respek dengan perjodohan itu, dan
ketidak respekan itu bukan tanpa alasan, betapa tidak, pertama usiaku
dan maryam terpaut 4 tahun, saat menikah saat itu usia maryam memasuki
28 tahun sementara aku masih berusia 24 tahun. Yang kedua maryam
memiliki latar belakang pemahaman agama yang sangat kuat, sementara aku
mengenal islam hanya dari kulitnya saja (Islam KTP).
Maka dari perbedaan itulah membuat aku jadi tidak respek dengan
rencana perjodohan itu, sementara kudengar dari beberapa teman kampusku
yang mengenal organisasi dimana maryam bernaung, katanya hampir semua
bahkan mungkin semua wanita seperti maryam yang taat dalam memegang
syariat islam serta menggunakan jilbab syar’i memiliki impian bisa
menikah dengan lelaki yang memiliki ketaatan yang sama seperti mereka,
lelaki sholeh, berjenggot dengan celana diatas mata kaki.
Dan aku sendiri yakin saat perjodohan itu direncanakan, ada sejuta
protes dihati maryam menyadari bahwa lelaki seperti akulah yang
dijodohkan dengannya, tetapi kondisilah yang tidak membuatnya sanggup
untuk melawan keinginan orang tuanya, apalagi aku juga sangat mengenal
watak orang tua maryam yang keras.
Begitulah.., tak pernah terlintas dalam benak kami berdua bahwa
justru berbagai perbedaan itu menyatukan kami berdua dalam sebuah ikatan
pernikahan yang suci, dan setuju atau tidak, ikhlas atau tidak akhirnya
tahun 2004 itulah awal kebersamaan kami menjalani biduk rumah tangga.
Usai pernikahan tersebut dilaksanakan, terasa ada banyak hal yang
lain kurasakan, betapa tidak, aku lelaki yang tidak memiliki bekal
pengetahuan agama lantas harus menikah dengan seorang gaids muslimah
yang taat dan berjilbab lebar, banyak hal berkecamuk dalam benakku,
haruskah aku hidup dalam bayang-bayang istriku dan turut ikut arus
dengan kehidupannya yang kental dengan agama itu?, ..
.. atau sebaliknya haruskah aku memaksanya untuk ikut arus dengan
kehidupanku yang santai dan apa adanya?, fikiran2 itulah mulai muncul
dalam benakku diawal pernikahan kami, dan aku sendiri bingung mau dibawa
kemana biduk rumah tangga kami yang dibangun dengan banyak perbedaan
ini.
Jujur, sebenarnya aku melihat dan menyaksikan sendiri bahwa istriku
adalah istri yang sangat baik, melayaniku sepenuh hati dalam segala hal,
meskipun aku tahu mungkin tidak ada cinta dihatinya untukku, tetapi tak
sedikitpun kata-kata protes keluar dari bibirnya.
Setiap hari aktifitas ibadahnyapun masih terus berlangsung tanpa
sedikitpun mengusik ketenanganku, maksudku, tak sedikitpun dia mengoceh
memintaku untuk sholat bila tiba waktu sholat, semuanya berlalu begitu
saja. Demikian pula aku sering mendapatinya selalu eksis mendirikan
sholat malam dan akupun tak pernah memprotesnya.
Waktu terus berlalu dan tanpa terasa pernikahan kami telah membuahkan
hasil, dimana setahun setelahnya lahirlah bayi mungil hasil pernikahan
kami, bayi laki-laki yang akhirnya kuberi nama frans meskipun ibunya
cenderung memanggilnya ahmad, lucu memang, bila bayi itu berada
ditanganku, maka aku memanggil dia dengan sebutan frans, biar keren dan
ikut perkembangan zaman (Cara pandangku terhadap nama-nama anak dizaman
modern ini), ..
.. sementara bila sikecil mungil itu berada dalam buaian maryam, maka
namanya berubah menjadi ahmad, pernah bebrapa kali aku menegurnya :
‘Hei.., dizaman semodern ini koq masih pakai nama ahmad sih .. yang
keren dikit dong, seperti nama yang sudah kukasi padanya “FRANS”, supaya
gak malu-maluin .., zaman modern koq masih pakai nama ahmad, apa kata
dunia …’ itulah celotehku setiap kali mendengar istriku memanggil frans
sikecil jagoanku dengan sebutan ahmad. Tetapi tak ada sedikitpun maryam
menanggapi celotehku, dan semua berlalu begitu saja.
Jujur ada satu hal yang paling membuat aku jengkel dari istriku,
ditengah aktifitas kantorku yang padat, dari dulu sampai memasuki
setahun pernikahan kami pasti setiap hari selasa dia selalu meminta
diantarkan kerumah Gurunya (Murobbiyah-), katanya tarbiyah, ..
.. dan pasti setiap hari selasa itu pertengkaran pun sering terjadi,
betapa tidak, aku yang sibuk dengan pekerjaan kantor harus menerima
telepon dan sms darinya meminta diantarkan kerumah gurunya itu, dan
kalau telepon dan sms2nya gak dibalas pasti akan disusul dengan telepon
dan sms susulan “Abi, tolong antarkan ummi tarbiyah dong, tinggal sejam
lagi tarbiyah akan dimulai” ..
.. begitu gambaran smsnya padaku menjelang waktu tarbiyahnya dimulai,
dan selalu dikirimnya dengan sms susulan yang bunyinya tambah memelas
penuh pengharapan, dan akhirnya membuatku mau tidak mau harus pulang
kerumah dan mengantarnya ketempat tarbiyahnya, ..
.. pokoknya sejak saat itulah setiap hari selasa pasti masalah yang
timbul itu2 saja, dan aku sangat jengkel sekali bila haru pulang rumah
dari kantor hanya untuk mengantar dan menjemputnya lagi.
Jadinya sebelum mengantar dan menjemputnya pasti selalu diawali
dengan pertengkaran kecil. aku sendiri sudah pernah memperingatnya untuk
berhenti menekuni tarbiyahnya itu, tetapi disetiap permintaan itu
kulontarkan, pasti air matanya akan mengucur deras sambil berujar ..
“abi, maafkan ummi, bukannya ummi tidak mentaati perintah abi, tapi
ummi mohon jangan putuskan tarbiyah ummi, sebab bila itu terjadi, pasti
hati ummi akan terasa gersang karenanya, sebab dari waktu sepekan, hanya
ada satu hari ummi berkumpul dengan teman-teman ummi dan membicakan
kondisi ummat saat ini serta hal-hal lain yang bisa membuat ummi merasa
damai dalam menjalani hidup ini”
Hmm.., jujur mendengar permintaannya yang memelas itu sedikit
membuatku tergugah dan sedikit penasara, apa sih tarbiyah itu?, koq
istriku selalu memberi alasan bahwa hatinya akan selalu tenang dan damai
kalau ikut tarbiyah, maksudnya apa sih, gak faham deh…’ ujarku dalam
hati.
Dan hal lain yang membuatku tidak suka adalah panggilan sayangnya
padaku “Abi”, huhhggg..apa gak ada panggilan yang lebih keren apa??,
papi kek, kang mas kek, koq panggil Abi…, pernah beberapa kali saat
tamuku dari kantor datang kerumah kupanggil dia dengan sebutan mami saat
aku minta dibuatkan minuman, ..
.. tetapi malah di jawabnya iya abi, huuhhgg jengkelnya aku saat itu,
entahlah, mungkin karena sudah terbiasa jadinya dia selalu keceplosan,
padahal sudah ada kesepakatan sebelumnya bahwa panggilan abi dan ummi
itu kuizinkan diberlakukan saat berdua saja, selebihnya harus komitmen
dengan panggila papi dan mami, tetapi dasar dikarenakan apa, selalu saja
dia lupa dengan kesepakatan itu.
Pendengar nurani yang baik ..
Kuakui bahwa istriku begitu baik padaku, bahkan dimataku
hampir-hampir tak ada cacat dan celahnya kebaktiannya padaku, dari sisi
biologis aku selalu dipenuhi, keperluan hariankupun tak sedikitpun
terlalaikan olehnya, tetapi yang membuat aku sangat jengkel aktifitas
dakwahnya masih terus jalan, bahkan teman-temannya selalu datang kerumah
untuk menimba ilmu darinya, ..
.. katanya Mutarrobbinya, jujur aku sebenarnya gak masalah bila ada
yang datang bertamu kerumah, tetapi kalau sudah ditentukan hari yang
rutin kemudian dengan jumlah tamu yang berpakaian sama dengan jumlah
yang tidak sedikit, apa nantinya tanggapan para tetangga, dan hal itupun
menjadikan pertengkaran kecil diantara kami.
“Mi, aku malas jadi bahan omongan orang, katanya kita memelihara
aliran sesatlah, aliran yang tidak jelaslah, bisa nggak sih untuk yang
satu ini mami ikuti permintaan papi, tolong.., jangan bawa teman2 mami
itu kerumah.., apalagi mereka ngumpul hampir setiap pekan sekali…”
celotehku disuatu hari.
“Astagfirullah abi, mengapa abi mempersoalkan pandangan tetangga
ketimbang pandangan Allah, insya Allah dalam rutinitas trabiyah ummi ini
tidak sedikitpun kaitannya dengan aliran sesat atau apalah yang mereka
tuduhkan, semua ini hanyalah pengajian biasa yang hanya memperdalam
halafaln al-qur’an dan hadist dan mengevaluasi diri-diri kita melalui
majelis ilmu seperti ini, tidak lebih abi..demi Allah…”
“Hahh.., pokoknya papi tidak setuju, apapun alasannya…, kalau mami
mau menghidupkan majelis-majelis ilmu seperti yang mami bilang itu, maka
silahkan cari tempat lain, jangan dirumah ini…” ujarku lagi
“Tapi abi.., kalau ummi mencari tempat lain itu artinya akan menjadi 2
hari dalam sepekan ummi keluar rumah, dan itu artinya akan menyita
waktu abi untuk antar-jemput ummi, bukankah abi tida suka direpotkan..?,
ummi mohon sama abi.., mohon diizinkan.., semoga dengan berlalunya
waktu para tetangga perlahan-lahan akan faham, dan insya Allah ummi pula
akan bersilaturahim kerumah ibu-ibu tetangga untuk bersosialisasi
dengan mereka tentang hal ini, insya Allah mereka faham dan akan balik
mendukung majelis ini, ummi hanya memohon dukungan abi..”
“hah..terserah mami saja deh..pokoknya papi tidak akan ikut campur
bila ada para tetangga yang mengamuk gara-gara masalah ini.., dan
kalaupun itu terjadi, silahkan mami sendiri yang berurusan dengan
mereka..!!” celotehku sambil berlalu meninggalkan istriku yang tertunduk
diam, kudengan suara paraunya berujar “Insya Allah abi..”
Perjalan waktu semakin membawa pernikahan kami pada usia yang lebih
dewasa, dan Alhamdulillah ditahun ke 3 pernikahan kami, lahir lagi bayi
mungil kecil dari rahim istriku, bayi mungil berjenis kelami perempuan
itu kuberi nama Jesica (agar lebih keren), meskipun seperti halnya
frans, istriku memberi nama lain jesica dengan panggilan fatimah, ….
aduhh … kuno bangett .. ujarku dalam hati mendengar panggilan fatimah
dari mulut istriku saat menggendong jesica.
Dan begitulah, terasa aneh memang, persatuan kami dalam sebuah ikatan
pernikahan tidak lantas membuat kami bersatu dalam hal-hal yang
prinsip, termasuk pada pemberian nama putra-putri kami, jadilah 2 nama
sekaligus disandang oleh Putra-putri kami, FRANS dan JESICA sapaan
akrabku untuk kedua permata hatiku, sementara AHMAD dan FATIMAH sapaan
akrab ibunya untuk keduanya, ..
.. terasa aneh memang tetapi itulah yang telah terjadi dalam
pernikahanku, tidak hanya itu saja, dalam panggilan aku dan istrikupun
sering ada perbedaan yang kontras diantara kami, aku terbiasa
menggunakaan sapaan PAPI dan MAMI untuk kami berdua, sementara istriku
terbiasa dengan gelar ABI dan UMMI, pokoknya aneh banget kalau di
bayangkan, tetapi itu realita.
Suatu hari terjadi pertengkaran hebat antara aku dan maryam, seperti
biasa masalahnya adalah mengantarnya ketempat tarbiyahnya, saking
jengkelnya karena sudah kuperingati agar berhenti dari aktifitas itu,
akhirnya aku tidak menggubris permintaannya, kumarahi dia dengan
kemarahan yang luar biasa marahnya menanggapi permintaan itu, bahkan
kepadanya kulontarkan makian tak layak dilontarkan karena saking
ngototnya istriku meminta diantarkan ketempat tarbiyahnya.
“Dasar istri durhaka, ditaruh dimana ilmu yang kau pelajari hah
samapi-sampai begitu kerasnya membatah keinginan suami?, atau memang kau
mau cari-cari alasan ya supaya papi murka dan naik pitam?, bukankah
papi sudah ingatkan kalau masalah mengantar saja yang selalu jadi soal,
maka berhenti…, apa susahnya sih?, tapi kalau mami mau ngotot ikut
tarbiyah itu lagi, silahkan.., jalan sendiri dan pulang kerumah juga
sendiri, amankan..?, ..
.. jujur sebenarnya papi dari dulu tidak rspek dengan aktifitasmu
ini, tapi karena setiap kali kau memohon dengan tetesan air mata maka
papipun mengizinkannya, tapi kalau begini caranya kayaknya papi sudah
tidak respek lagi deh, jadi untuk kali ini mami dengarkan papi ‘TOLONG
BERHENTI IKUT TARBIYAH itu, titik..!!!” ujarku dengan kemarahan yang
sudah memuncak sampai keubunn, hingga akhirnya dia melontarkan kata-kata
yang membuatku sedikit terdiam tak berkutik.
“Abi, andai tidak menjaga kehormatanku sebagai seorang istri yang tak
pantas keluar rumah tanpa mahrom, maka mungkin ummi tidak akan pernah
memelas seperti ini pada abi, dan mungkin ummi sudah keluyuran sendiri
sesuka hati ummi layaknya wanita-wanita lain yang kelayapan sesuka hati
mereka mesti tanpa sepengetahuan suami-suami mereka, ummi hanya ingin,
agar kemurkaan Allah tidak menimpa ummi mana kala ummi harus bepergian
tanpa mahrom, ..
.. padahal ummi telah memiliki mahrom, apalagi kantor abi sangat
dekat dengan rumah kita dan waktu tarbiyah ummipun selama ini bertepatan
dengan waktu istirahat kantor abi, apa ummi salah bila ummi meminta
sedikit waktunya abi untuk sekedar mengantar ummi ketempat tarbiyah.
Maafkan ummi bila sudah membuat abi marah, hukum ummi bila
salah..cambuk ummi bila ummi khilaf.., tapi sekali lagi semua ini ummi
lakukan untuk menjaga kehormatan ummi sebagai seorang istri, terus
terang ummi sering merasa cemburu dengan teman-teman tarbiyah ummi, ummi
cemburu melihat keahagiaaan mereka yang begitu datang tarbiyah diantar
oleh suami-suami mereka dengan penuh cinta, ..
.. dikecup keningnya sebelum mereka berpisah, dan dijemput lagi
dengan penuh kesabaran meskipun suami-suami mereka jauh lebih sibuk dari
abi.
Bahkan ummi sangat cemburu melihat salah seorang teman ummi yang
rumahnya tidak jauh dari tempat tarbiyahnya, tetapi suaminya tak
sedikitpun membiarkan istrinya keluar rumah tanpa didampinginya lalu
ditinggalkalah pekerjaannya hanya untuk mengantar istrinya ketempat
tarbiyah yang sebetulnya tak jauh dari rumahnya, sekali lagi maafkan
ummi abi…” jawab istriku dengan deraian air mata, mendengar semua itu
hatiku sedikit tersentuh, ada semacam keharuan mengalir dari dalam
hatiku, akan tetapi buru-buru perasaan itu kutepis dan berlalu
meninggalkannya.
Hingga suatu hari ketika usia pernikahan kami memasuki tahun ke lima,
terjadi kejadian tragis pada istriku, sebuah kejadian yang membuat mata
hatiku terbuka dan menyadari kekhilafanku selama ini, yah, suatu hari
istriku meminta diantarkan tarbiyah dan dengan hati yang menggerutu aku
mengantarnya ketempat tarbiyahnya, ..
.. tetapi sebelumnya aku sudah ingatkan dia agar setelahnya dia naik
angkot sendiri untuk pulang kerumah, pada hari itu aku sebetulnya tidak
sedang banyak kerjaan, bahkan saat itu aku sedang santai dirumah bersama
kedua permata hatiku yang memang hari itu aku minta pada istriku untuk
meninggalkan mereka dirumah bersama ibuku (nenek dari anak-anakku),
hingga beberapa waktu kemudian datang sebuah sms di hpku, ..
.. ya, sebuah sms dari istriku yang berbunyi “Assalamu ‘alaikum,
afwan abi, alhamdulillah ummi sudah selesai tarbiyah, bisa jemput ummi
sekarang ??” begitulah isi sms dari istriku yang hanya kubaca saja lalu
kuletakkan kembali hpku.
Beberapa menit kemudian masuk lagi sms darinya dengan bunyi “afwan
abi, semua teman-teman ummi sudah dijemput suami-suaminya, tinggal ummi
sendiri disini, tuan rumahnya mau keluar sekelurga (maksudnya
murobbiyahnya sekeluarga), sementara waktu mau magrib, tolong jemput
ummi ya..?” isi sms itu lagi, tapi lagi-lagi sms itu hanya kubaca dan
kuletakkan kembali hpku di meja TV.
Beberapa kali kudengar hpku berdering dan aku berfikir bahwa itu
telepon dari istriku, hingga sms terakhir darinya kembali masuk ke hpku
“afwan abi, abi sakit ya, ya udah kalau gitu, ummi mohon izin naik
angkot aja, doakan ummi semoga sampai dengan selamat kerumah ya,
uhibbuka fillah” isi sms istriku yang ke tiga kalinya, hatiku lega saat
membaca sms itu, dan itu artinya aku tak perlu lagi menjemputnya, aku
sendiri berharap bahwa ini adalah awal yang baik baginya, supaya
kedepannya dia bisa mandiri dan berangkat sendiri ke tempat tarbiyahnya
sendiri.
Malam semakin larut namun istriku tak kunjung tiba kerumah, padahal
prediksiku dua jam yang lalu seharunya dia tiba dirumah, tapi kok hingga
2 jam berlalu dia tak kunjung tiba, ada apa gerangan??, apa dia tidak
tahu jalan pulang?, aduh gimana nih..? ujarku dalam cemas, beberapa kali
aku hubungi nomor hpnya tapi tidak dijawab-jawab dan itu membuat aku
lebih bertambah cemas, ..
.. ditambah lagi dengan frans yang mulai rewel karena mungkin rindu
dengan ibunya, sebab memang hari ini adalah hari pertama ibunya tarbiyah
tannpa mengajak frans dan jesica, ada apa dengan maryam ya.., ya Allah
ada apa dengan istriku?, ujarku semakin cemas, dan entah mengapa malam
itu perasaanku sedikit berbeda dari biasanya, aku merasakan seperti
sangat mencinta istriku dan begitu takut kehilangannya, .. bahkan aku
merasa bahwa hari itu entah mengapa rasa rinduku tiba-tiba mulai
menyelinap dalam bathinku, ada apa ini.
Pendengar, hingga beberapa jam kemudian hpku berdering dan
Alhamdulillah ternyata nomor istriku menelpon, hatiku sangat girang saat
itu, dengan buru-buru kuangkat teleponnya
“hallo..,mami dimana..?, koq belum nyampe-nyamope?” tanyaku dengan nada
cemas, tetapi alangkah kagetnya aku ketika kudengar bukan suaranya yang
menjawab melainkan suara seorang wanita yang sangat asing ditelingaku.
“maaf pak, hp ini milik istri bapak ya?, begini pak, tadi sore sekita
3 jam yang lalu istri bapak mengalami kecelakaan, beliau di tabrak
mobil saat keluar dari mesjid dan tubuhnya menghatam tembok pagar
mesjid, …
.. sepertinya beliau lagi nunggu angkot dan singgah sebentar untuk
sholat magrib dimesjid, mobil yang menabraknya sudah melarikan istri
bapak kerumah sakit terdekat tetapi ditengah perjalanan karena banyaknya
darah yang keluar istri bapak meninggal dunia, sekarang istri bapak di
RS FULAN tepatnya dikamar jenazah, mohon bapak segera datang” jawab
wanita itu terbata memberikan keterangan atas kondisi istriku, dengan
sedikit gemetar seakan tak percaya tiba-tiba HP yang ada dalam
genggamanku terlepas dan terjuntal kelantai.
Air mataku tiba-tiba turun dengan deras dari kelopak mataku, sedih..,
menyesal atas semua tindakanku selama ini padanya, dan dengan masih
perasaan tak percaya aku segera bergegas menuju RS yang telah ditunjukan
padaku, bergegas aku kekamar zenajah mengikuti arahan salah seorang
petugas jaga, ..
.. dan Subhanallah, kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri tubuh
istriku yang terbaring kaku bersimbah darah, ditubuhnya masih lengkap
dengan pakaian syar’i, menurut salah seorang wanita yang berdiri tak
jauh dari ranjang dimana istriku dibaringkan (Wanita yg menelpon aku
ddan mengabarkan istriku kecelakaan), menurutnya mereka dan tim medis
sengaja tidak membuka pakaian yg dikenakan wanita itu atas permintaannya
saat sekarat manakala dilarikan ke RS, ..
.. beliau meminta agar jangan sampai ada lelaki yang menyentuhnya dan
membuka auratnya sampai keluarganya datang menjemputnya, wanita
tersebut menuturkan dengan deraian air mata, menurutnya lagi saat
sekarat taka ada sedikitpun tanda-tanda kesakitan pada wajah istriku,
bahkan hingga nyawanya berpisah dari raganya.
Ya Allah, betapa mulianya hati istriku, hingga dalam keadaan
sekaratpun dia masih meminta agar kehormatannya tetap dijaga, perlahan
bayangan masa lalu kami kembali terpampang dalam benakku, betapa istriku
takut bepergian sendiri tanpa ada mahrom, bahwa betapa kuatnya dia
menjaga kehormatannya sebagai seorang muslimah, tetapi aku telah lalai
dari menjaganya, ya Allah ampuni aku…, ampuni aku…, terlalu banyak dosa
yang telah kuperbuat selama hidupku.
Hingga saat ini kesedihan itu masih terus menggerogoti perasaanku,
meskipun sebuah kesyukuran sendiri buatku sebab setelahnya Hidayah itu
menyapaku. Tetapi sungguh, hanya Allah yang tahu isi hati ini, bahwa
hingga hari ini aku belum bisa melupakannya dan memafkan diriku sendiri,
apalagi mengingat betapa mulianya hati istriku, jujur selama pernikahan
kami, tak pernah satupun dia kuberikan uang gajiku, bahkan dia tidak
tahu berapa penghasilanku setiap bulannya, ..
.. subhanallah, begitu sabarnya dia padaku, dan yang lebih membuatku
sangat bersedih lagi adalah tak pernah satu kalipun selama pernikahan
kami aku membelikannya pakaian yang syar’i, seingatku pakaian muslimah
syar’i yang dipakainya selama menikah denganku adalah pakaian yang
memang telah dimilikinya sebelum menikah denganku dan lagi-lagi dia
tidak pernah mengeluh padaku, ..
.. kudapati pula jubah yang dipakainya saat kecelakaan itu telah
sobek dibagian punggungnya, dan dari sobekan itu sudah ada jahitan2
sebelumnya yang telah lapuk, andai saja dia tidak memakai jilbab besar,
mungkin sobekan itu akan terlihat jelas. dan hal lain yang membuat aku
semakin pilu adalah dokter memberikan keterangan bahwa ada janin yang
diperkirakan berusia 6 pekan dalam kandungan istriku, Yaa Allah ampuni
aku…ampuni aku ya Allah..kasihan istriku..betapa sabarnya dia
menghadapiku selama ini.
Pendengar Nurani yang baik
Alhamdulillah saat ini aku telah aktif tarbiyah, andai istriku masih
ada, pasti dia akan bahagia melihat aku saat ini yang Alhamdulillah
telah tersentuh oleh hidayah-Nya, tetapi sayang dia telah tiada, yang
tersisa hanyalah kenangannya dan juga Ahmad dan Fatimah.
Duhai mujahidahku tersayang, maafkan abi yang telah melalaikanmu..
Abi tahu berlarut-larut dalam kesedihan ini tak baik.., tetapi kesedihan ini entah mengapa tak pernah lekang dari perasaan abi..
Abi janji pada ummi, akan menjaga Ahmad dan Fatimah, mujahid dan
mujahidah kita tercinta…, insya allah mereka akan tumbuh dengan akhlak
seperti umminya atau mungkin lebih dari abi dan umminya..
Selamat jalan wahai mujahidahku tersayang, semoga Allah menerima
semua amal ibadahmu dan menempatkanmu dijannah-Nya yang tertinggi …
Aamiin …
demikian dari saya setiap kesalahan datang dari saya untuk itu saya mohon maaf dan setiap kebenaran hanya milik ALLAH SWT.
Ya Allah.. Aku berlindung padamu dari Azab dan Siksa api neraka. Aamiin
Cerita Cinta Islami Mengharukan : Cuma Bisa Berharap (Yang Status masih Lajang Harus Baca) | 02.31 |
Filed under:
|
Ini bukan hanya tentang cinta, tapi harapan yang berpilin sebagai doa di langit-Nya.
—
“Terima kasih Ya Alloh karena masih memberiku kesempatan melihat sang bintang harapan di tiap pagiku. Dan untukmu penjajah hatiku, selamat pagi.”
Begitu biasa Dinara memulai harinya di tiap pagi sebelum beraktifitas. Dua kalimat di awal rutinitas harinya itu telah menjadi suatu hal yang hampir tak pernah dia lupakan semenjak lima tahun terakhir. Seperti itu pula dengan hari ini.
Baginya, tiap hari terasa indah. Penuh dengan harapan dan optimisme. Kenapa? Karena ada dia.Karena ada cinta dihatinya. Gana, sang penjajah hatinya. Lelaki itu telah menjadi pangeran dalam hatinya selama hampir lima tahun ini. Sosoknya seperti telah begitu menyatu dalam jiwanya hingga dia tak bisa lagi berpaling pada lelaki lain. Bagi Dinara, Gana adalah seorang lelaki yang luar biasa. Ganaadalah instrumen terpenting dalam hidupnya.
Konyol sekali kedengarannya. Tapi begitulah dia mencintainya, mencintai Gana. Ah bukan, menggilainya tepatnya. Dinara tak peduli jikapun orang menganggapnya bodoh karena cinta itu. Dia hanya senang seperti itu. Dan selama hampir empat tahun terakhir, Aivi lah yang tahu kegilaan Dinara itu. Aivi adalah sahabatnya sejak dia masuk kuliah hingga mereka baru saja lulus kuliah saat ini. Meski begitu, Aivi tak pernah tahu lelaki mana yang sebenarnya dicintai sahabatnya selama ini. Ia hanya tahu kalau Dinara mencintai seorang lelaki bernama Gana. Itu pun entah pasti atau tidak.
“Kau melamun? Dia lagi?” tiba-tiba Aivi menepuk pundak Dinara, membangunkan ia dari lamunannya yang sedang berpetualang ke negeri antah berantah, mencari sesosok pangeran yang ia rindukan. Aivi lalududuk di samping Dinara sambil memperhatikan orang lalu-lalang di taman kota. Hari minggu pagi memang jadwal rutin mereka pergi ke taman kota.
“Hah, kau tanya apa Vi?” Dinara melongo.
“Emm benar tebakanku! Sampai kapan Gana akan membuatmu seperti ini?!” ujarnya.
“Seperti ini? Memangnya aku kenapa? Aku baik-baik saja.”
“Yah, mudah-mudahan memang benar kau tak apa-apa. Jangan sampai gara-gara dia, kau menutup mata dari kenyataan.”
“Maksudnya?” Tanya Dinara heran.
“Iya, bukankah kenyataannya kalian memang tidak pernah ada hubungan apa-apa? Dan entah perasaan seperti apa yang membuatmu begitu menggilainya. Cinta, penasaran, atau hanya obsesi?”
Jleb. Hati Dinara bergetar mendengar perkataan Aivi itu. Ia tidak tau kenapa, ada rasa sakit yang mengiris hatinya. Ia ingin menangis mendengarnya. Tapi, sebisa mungkin ia mencoba untuk tidak meneteskan air mata. Pilu rasanya.
“Di, kau baik-baik saja?” Aivi menatap Dinara dengan raut khawatir.
“Mmh. Iya.” Dinara mengangguk. Tapi ia bohong. Hatinya sama sekalitidak baik. Baginya perkataan Aivi itu adalah suatu pukulan maha dahsyat yang langsung menyadarkannya akan suatu ketidakpastian.
Batinnya menangis. Menyedihkan sekali rasanya. Benar kali ini ia terluka. Ini kenyataan. Aivi telah membangunkannya dari mimpi-mimpi itu. Tapi, Dinara tidak bisa jujur pada dirinya sendiri. Dinara tidak ingin mengiyakan apa yang telah Aivi katakan.
Lima tahun mencintai Gana dengan caranya sendiri rasanya cukup membuat ia hampir gila. Tapi, Dinara sangat menyenangi kegilaannya itu. Ia tak bisa dengan mudah kembali sadar dan melepaskan cintanya.
Dinara hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari bibirnya yang kelu itu. Ia hanya sedang berpikir saat ini. Berpikir tentang kata-kata Aivi tadi. Berpikir tentang dirinya, Gana dan perasaannya. Dan juga berpikir tentang sahabatnya itu, Aivi.
- Kenapa Aivi bisa berkata dan berpikir seperti itu? Kenapa baru sekarang dia berkomentar seperti itu setelah beberapa lama kami bersama? Apa dia telah begitu jengah dengan kegilaanku itu hingga dia bepikir seperti itu? Atau apakah memang cintaku pada Ganabegitu salah di matanya? Kenapa? -
Dinara merasa heran pada sahabatnya itu. Batinnya terus bertanya-tanya. Dinara merasa tak ada yang salah dengan perasaannya pada Gana. Ia hanya ingin mencintai seseorang seperti itu. Ia hanya ingin jadi seorang Dinara yang dengan segenap cinta dan doanya berhasil menjaga hatinya hanya untuk seorang Gana saja.
- Lalu kenapa Aivi membuatku terlihat begitu menyedihkan? Hei, aku tak pernah merugikan siapapun dengan perasaanku itu. Pun aku tak pernah merasa dirugikan sedikitpun oleh cintaku itu. Lagipula, aku yakin Gana tak pernah keberatan dengan keberadaan hatiku yang tak pernahmenjamahnya sedikitpun. Tak pernah pula aku berusaha menyentuh hati Gana. Aku hanya mencintainya dari sudut terindah yang bisa kurasa, dengan tetap membiarkan Gana aman dan nyaman dalam dunianya sendiri. Lalu, apa yang salah? -
Aah, Dinara tidak bisa berpikir terlalu banyak lagi. Hatinya masih ngilu. Mungkin Aivi hanya terlalu sayang padanya. Iya mungkin begitu.
Satu hari, dua hari, tiga hari, beberapa hari berlalu. Hari-hari Dinara berlalu seperti biasa. Tapi, hari-harinya jadi terasa menjemukan sekarang. Entah kenapa. Ia merasa kehilangan sedikit kebebasan untuk merasakan dalam-dalam getaran cintanya pada Gana. Yah, semenjak Aivi melontarkan ‘unek-uneknya’ tentang kegilaannya itu, Dinara merasa sedikitnya ada yang membatasi kebebasannya. Tapi, mungkin saja Aivi benar.
Ia sama sekali tak marah pada sahabatnya itu. Tidak. Sungguh. Ia hanya merasa perlu waktu yang lama – entah seberapa lama – untuk mencerna perkataan Aivi lalukemudian memahaminya. Dinara merasa apa yang dikatakan Aivi memang benar, yakni antara dia dan Gana tak sedikitpun ada hubungan apa-apa, tapi apakah salah jika ia mencintai Gana dengancaranya sendiri? Hanya itu.
To be only yours, I pray, To be only yours… I know now you’re my only hope
Suara merdu Mandy Moore melengking indah dari ponsel Dinara. Nada dering untuk panggilan masuk. Dinara membuka flap ponselnya.
“Di.. hallo.. kau baik-baik saja?”
“Hallo.. assalamualaikum Aivi. Tak biasanya kau menelpon. Ada apa?”
“Eh, waalaikumsalam. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tanya, apa kau sudah melupakannya?”
Deg. Apa? Apa yang baru saja Aivi tanyakan? Dinara benar-benar kaget mendengarnya. Sungguh. Taksemudah itu melupakannya, Aivi. Dinara berkata-kata dalam hatinya.Belum sempat ia menjawab, Aivi sudah nyerocos di ujung sana.
“Kau harus melupakannya. Sudah cukup Di. Cinta itu bisa merusakmu, melenakanmu. Kau harus melupakannya. Ah, Ya Alloh. Bagaimana caranya menghentikanmu? Apa sesulit itu? Sungguh. Kumohon lupakan dia. Kau harus memulai semuanya dari awal. Bukalah mata dan hatimu Di. Lupakan dia.”
- Ya Alloh. Kenapa Aivi bersikap seperti itu? Kenapa? Apa dia tak tahu kalau yang ia katakan membuatku sakit. Benar-benar membuatku sakit. Sungguh. Tak semudah itu. -
“Hallo.. Di? Kau masih di sana? Kau baik-baik saja?”
“Mmh. Aku akan mencobanya.” Dinara menjawab sekenanya.
“Bagus. Aku selalu ada untukmu. Sudah ya. Assalamualaikum.”
Tut. Sambungan terputus. Waalaikumsalam. Dinara mendesahpelan. Ia masih memegang ponselnya. Lagi-lagi dia merasa sulit untuk mencerna dan kemudianmemahami apa yang sudah Aivi katakan barusan. Selalu begitu. Logikanya selalu berfungsi lebih lambat dibandingkan perasaannya. Ia hanya bisa meneteskan air mata. Rasa sakit – tentu saja rasa sakit yang diakibatkan oleh perkataan Aivi tempo lalu – yang sudah hampirbisa ia lupakan, kini kembali hinggap di hatinya.
- Ya Alloh.. apa selama ini aku terlihat seperti orang tak waras? Kenapa Aivi bersikeras bersikap seperti itu? Apa dia sudah benar-benar jengah melihat kegilaanku itu? Ya Alloh.. apa yang salah dari semua yang aku rasakan selama ini? Dan apa? Aivi berkata kalau cinta ini bisa merusakku, melenakanku? Tidak. Sama sekali tidak. Cinta ini justru menguatkanku. Mengubahku menjadi lebih baik. Memberiku harapan di setiap hariku. Memberiku nafas untuk tetap bertahan dalam kesendirian. Memberiku semangat dalam menghadapi berbagai masalah hidup. Dan yang terpenting, cinta iniselalu mendekatkanku pada-Mu. YaAlloh.. apa Aivi tak tahu semua itu? Melupakan Gana bukanlah hal yangmudah dan memang bukan hal yang aku inginkan. Tidak sama sekali. -
Pandangan Dinara kabur. Ia bukan hanya meneteskan air mata, tapi menangis sesenggukan. Ia memegang dadanya. Ada yang sakit di sana. Benar-benar sakit. Ia melangkah menuju meja belajarnya. Ia lalu membuka tas yang tergeletak di sana. Direngkuhnya sebuah sapu tangan kotak-kotak biru muda. Ada tulisan kecil di salah satu sudutnya. Gana.
- Apakah aku benar-benar harus melepaskan semua perasaanku padamu? Apakah aku tak boleh lagimencintaimu – meski pastinya kau tak pernah tahu hal itu? Apakah aku harus mengubur dalam-dalam semua harapanku tentangmu? Tapi,aku benar-benar ingin bertemu denganmu. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Meski hanya untuk satu kali lagi. Meski hanya untuk beberapa detik saja. Itu tak apa. Sungguh. Aku hanya ingin berterima kasih padamu, Gana. Berterima kasih untuk semuanya. Ya. Aku belum sempat melakukan itu. -
Dinara bergumam lirih sendirian. Didekapnya sapu tangan itu erat-erat. Lalu, pikirannya beralih ke suatu malam, lima tahun silam. Saat ia masih berusia tujuh belas tahun. Saat ketika ia belum seperti sekarang. Saat dimana satu hal berhasil mengubah hidupnya.
Saat itu, Dinara tengah berjalan sendirian ketika seorang om-om mencoba merayunya untuk ikut bersamanya. Bagaimanalah om-om itu tidak bersikap demikian, penampilan Dinara saat itu lebih mirip dengan wanita malam. Ditambah pula ia berjalan sendiriandi kala malam telah sepenuhnya pekat. Mana ada wanita baik-baik keluyuran tengah malam dengan penampilan seperti itu coba?
Dinara mati-matian menolak – karena memang dia toh bukan wanita malam yang dikira om-om itu -, sementara si om-om mati-matian memaksanya. Dinara berteriak meminta tolong. Dan di saat itu, seorang pemuda – yang entah kebetulan lewat atau memang telah sengaja dikirim Tuhan – mendekati Dinara yang sedang berusaha melepaskan diri dari si om-om.
“Tolong lepaskan dia Pak. Dia ini adik saya. Dia wanita baik-baik danbukan wanita seperti yang Bapak kira. Sungguh Pak, dia wanita baik-baik. Hanya saja, dia belum cukup dewasa. Tolong jangan ganggu dia Pak. Bapak akan menyesal jika melakukannya.” Pemuda itu berkata dengan nada memohon pada si om-om. Si om-om yang entah kenapa merasa percaya dengan yang dikatakan pemuda itu langsung melepaskan Dinara. Ia bergegas meninggalkan tempat itu sambil bersungut-sungut, “Urus adikmu itu. Mungkin lain kali ia tak akan selamat jika masih seperti itu.” Pemuda itu hanya mengangguk.
Suasana malam itu begitu sunyi danlengang. Dinara yang merasa shock dengan kejadian itu menangis sesenggukan di tepi jalan. Pemuda itu menghampirinya dan mengeluarkan sehelai sapu tangan dari dalam saku celananya dan mencoba menenangkan. Dia kemudian membawa Dinara ke dalam mobilnya dan mengantarkanDinara pulang. Ia lalu menanyakan alamat gadis itu. Tak berapa lama, mobil pemuda itu sampai di depan sebuah rumah mewah. Rumah Dinara. Mereka berdua lalu turun dari mobil itu.
“Aku bukan wanita seperti itu.” UjarDinara yang masih menangis.
“Om-om tadi atau pria manapun pasti tidak akan berani mengganggumu jika kau tak keluyuran tengah malam begini dan penampilanmu tak seperti itu. Tapi, aku percaya kau wanita baik-baik. Sungguh.” Pemuda itu kembali ke mobilnya. Meninggalkan Dinara yang masih terpaku. Mobilnya melesat menjauhdari hadapan Dinara.
Dinara tersadar. Dia melihat sekeliling dan mendapati ia sendirian disana. Lalu, dia melihat sapu tangan di genggaman tangannya. Sapu tangan kotak-kotak biru muda. Pandangannya tertuju pada tulisan yang dijahit dengan benang hitam di salah satu sudut sapu tangan itu. Gana. Hatinya berdesir halus ketika mengingat pemuda yang baru saja menolongnya itu. Pemuda baik hati yang sama sekali tak dikenalnya.
Sejak saat itu, Dinara berubah. Gayahidupnya, penampilannya, tingkah lakunya, tutur katanya, pemikirannya. Semuanya berubah menjadi lebih baik. Sungguh, kekuatan cinta yang begitu indah. Bertahun-tahun ia selalu berharap suatu saat bisa bertemu kembali dengan pemuda yang telah menyelamatkan hidupnya itu. Ia selalu ingat kalau ia belum sempat berterima kasih pada pemuda itu, hingga saat ini.
To be only yours, I pray, To be only yours… I know now you’re my only hope
Panggilan masuk. Bayangan masa lalu itu kemudian memudar. Dinara menyeka air matanya. Lalu ia membuka flap ponselnya.
“Assalamualaikum Aivi. Kenapa lagi?”
“Waalaikumsalam. Aku lupa memberitahumu Di. Minggu depan, datanglah ke rumahku. Ada syukuran. Oya, aku akan mengenalkanmu pada seseorang. Seseorang yang sangat aku sayangi.Emm kau pasti menyukainya. Ah hati-hati, kau bisa mencintainya. hehe”
“Kenapa?”
“Ya, karena dia memang pantas disukai, dicintai. Sudah ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Dinara menghela nafas. Akhir-akhir ini ia lebih sering menghela nafas. Entah kenapa. Tiba-tiba ia teringat percakapannya dengan Aivi barusan.
- Mengenalkanku pada seseorang yang sangat ia sayangi? Menyukainya? Mencintainya? Siapa? Syukuran? Ah, iya. Jangan-jangan Aivi akan dilamar. Seseorang yang ia maksud adalah calonnya barangkali. Iya. Begitu sepertinya. Tapi, kenapa dia tak pernah bercerita sebelumnya padaku? Ah, sahabat macam apa aku ini? Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan Aivi selama ini. Mungkin, karena aku terlalu sibuk dengan kegilaanku itu. Ya Alloh.. Aivi, maafkan aku. -
Seminggu berlalu begitu cepat. Tapi, bagi Dinara waktu jadi terasa begitu lambat. Itu karena perasaannya sedang begitu tak menentu. Yah, begitulah.
Dinara sudah sampai di depan rumah Aivi. Banyak mobil berjejer disana. Sepertinya, semua keluarga besar Aivi sedang berkumpul untuk acara syukuran itu.
Dinara melangkah masuk ke rumah besar itu. Pandangannya langsung tertuju ke dalam rumah. Banyak orang di dalam sana. Dan, Ya Alloh.. jantung Dinara hampir berhenti berdetak. Nafasnya tiba-tiba sesak. Ia melihat Aivi di sofa ruang tamu. Tapi, perhatiannya bukan tertuju pada sahabatnya itu, melainkan pemuda tampan di samping Aivi. Pemuda itu, Dinara yakin pernah melihatnya. Ya, bagaimana mungkin ia lupa? Tapi, kenapa pemuda itu ada di sini? Dan.. dan.. pemuda itu terlihat begitu dekat dengan Aivi. Apa mungkin? Dinara tiba-tiba langsung memegang dadanya. Ada yang menggerogoti hatinya lagi. Dan kali ini lebih sakit dari sebelumnya.
- Bagaimana mungkin seperti ini Ya Alloh? Kenapa harus Aivi? Kenapa Aivi harus bersama Gana? Dan, mereka terlihat benar-benar akrab. Mereka sedang bercanda. Aivi tersenyum, tertawa. Itu sempurna ekspresi bahagia dari Aivi. Bagaimana mungkin? Ya Alloh. -
Dinara masih mematung di depan pintu. Kakinya lumpuh seketika. Matanya perih. Sungguh perih. Tapi, bagaimanalah ia akan menangis di saat seperti itu? Beribu pertanyaan menyesaki benaknya satu per satu.
- Apakah ada yang pernah merasakan ketika senyuman orang lain nyatanya justru membawa lukadi hati kita? Aku pernah. Apakah ada yang pernah merasakan ketika tawa orang lain tak sadar justru membuat air mata kita terjatuh? Aku pernah. Apakah ada yang pernah merasakan ketika kebahagiaan orang lain sebenarnyatidak – sama sekali tidak-membuat hati kita bahagia juga? Aku pernah. Ya. Aku pernah merasakan itu semua. Di sini. Saat ini. Entah perasaan macam apa namanya. Yang jelas, ini sungguh menyakitkan. -
“Dinara.. kau sudah datang? Ayo sini.” Suara Aivi tiba-tiba menyadarkan Dinara yang sedang terpaku. Aivi menghampiri Dinara dan membawanya masuk. Entah kenapa, Dinara merasa sulit untuk melangkahkan kakinya. Dengan enggan akhirnya ia menapakkan kakinya selangkah demi selangkah.Mereka lalu duduk tepat di hadapan pemuda itu. Pemuda itu tersenyum manis pada Dinara. Hati Dinara semakin ngilu.
“Bagaimana, kau menyukainya bukan?” ujar Aivi sambil menepuk pundak Dinara. Dinara tak berani menjawabnya. Andai saja Aivi tahu, pemuda itu adalah pangeran hati Dinara selama lima tahun ini.
“Bagaimana, kau menyukainya bukan?” Aivi melontarkan kembali pertanyaan yang sama. Namun, kali ini bukan pada Dinara. Melainkan pada pemuda di hadapannya. Pemuda itu hanya tersenyum. Wajahnya memerah. Dinara masih tak mengerti.
“Namanya Rida Lenggana. Dia saudara sepupuku. Ah, kau pasti takingat? Ya, mana mungkin. Selama ini kau sibuk dengan Gana mu itu. Bukankah aku pernah menceritakannya padamu beberapa kali? Rida, saudara sepupuku yang sejak lima tahun lalu kuliah di Turki dan sudah punyapekerjaan tetap di sana. Ya ampun Di, kau benar-benar tak pernah mendengarkan ceritaku sepertinya.”
Seperti biasa, Aivi nyerocos tanpa memperhatikan respon si pendengar. Sementara itu, Dinara merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia masih juga tak bersuara.
- Sepupu? Bukan calon suami? Ya ampun, kenapa aku begitu cepat menyimpulkan? -
“Kau tahu Di? Aku sangat menyayanginya. Dia lelaki baik dan pantas mendapatkan yang baik pula. Dulu dia pernah menyukai seorang wanita yang ditemuinya suatu malam di jalan kota. Dia bilang dia tak bisa melupakan gadisitu. Tapi, untunglah Rida tak sepertimu yang sulit sekali melupakan Gana. Dia langsung menyukaimu ketika pertama kali aku menunjukkan fotomu empat tahun lalu. Dia semakin menyukaimu sewaktu aku berceritabanyak tentang kau. Setiap kami berkomunikasi, dia selalu menanyakan kabarmu dan memintaku bercerita tentangmu, semua hal tentangmu. Tapi, dia melarangku memberitahumu. Dia ingin agar kau tetap seperti itu, menggilai Gana. Dia tak ingin mengusik kegilaanmu itu katanya. Tapi sewaktu dia pulang dari Turki minggu lalu, dia akhirnya memintaku untuk mengenalkanmu langsung padanya. Karena itu aku bersikeras menginginkankau melupakan Gana. Aku pikir, kau pasti akan menyukai sepupuku ini. Kalian sangat cocok.”
Dinara masih diam. Tapi, kali ini rasa sakitnya berangsur hilang. Tergantikan oleh perasaan yang entah apa namanya. Bahagia, terharu dan apalah itu. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mungkin ini terjadi? Sementara itu, pemuda di hadapannya bersemu merah.
“Aku suka nama Gana. Aku ingin dipanggil begitu. Sungguh. Ah, tapi tak ada yang tahu hal itu. Semua orang malah memanggilku Rida.” Pemuda itu terdiam sesaat. Lalu dengan terbata ia melanjutkan. “Emm.. Apa.. apa kau mau ikut bersamaku ke Turki? Tentunya, setelah kita menikah di sini.” Pemuda bernama Rida Lenggana itubaru saja mengucapkan kata-kata yang sudah lama ingin ia sampaikan pada gadis dihadapannya. Gadis yang sudah ia sukai sejak pertama kali bertemu lima tahun lalu di suatu malam ketika ia menikmati malam terakhir di kota kelahirannya sebelum ia berangkat ke Turki. Perasaan lega, cemas dan bahagia bercampur aduk di hatinya.
Dinara tak kuasa menahan air matanya terjatuh kali ini. Biarlah semua orang melihat ia menangis saat ini. Karena toh selama ini tak ada yang tahu bagaimana ia menangis dalam kesendiriannya, bagaimana ia menangis menahan semua perasaannya, bagaimana ia menangis di setiap harapan yang ia panjatkan dalam doa-doanya. Biarlah.
Dinara mengeluarkan sapu tangan kotak-kotak biru muda bertuliskan nama Gana – yang selalu ia bawa kemanapun – dari tas tangannya. Sambil mengangguk ia berikan sapu tangan itu pada pemiliknya. “Terima kasih, untuk semuanya.” Ujarnya lirih sambil berurai air mata. Pemuda itu tersenyum saat menerima kembali sapu tangan miliknya.
Aivi melongo melihat pemandangan di hadapannya. “Ya ampun, jadi selama ini?”
—
Dan ketika harapan yang kita panjatkan dalam setiap doa-doa kita tak langsung dijawab-Nya dengan kata Ya atau Tidak, maka sesungguhnya Ia menjawab, “Tunggu, Aku akan berikan yang terbaik untukmu pada waktunya.”
Kisah Menakjubkan Sahabat Nabi Julaibib Mendapatkan Jodoh | 05.52 |
Filed under:
|
Kisah Menakjubkan Sahabat Nabi Julaibib Mendapatkan Jodoh - Namanya Julaibib, begitulah dia biasa dipanggil. Nama ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya yang kerdil dan pendek. Nama Julaibib adalah nama yang tidak biasa dan tidak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Bukan pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya. Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu tentang nasab Julaibib. Bagi masyarakat Yatsrib, tidak bernasab dantidak bersuku adalah cacat sosial yang sangat besar.
Julaibib yang tersisih
Tampilan fisik dan kesehariannya juga menjadi alas an sulitnya orang lain ingin berdekat-dekat dengannya. Wajahnya jelek terkesan sangar, pendek, bunguk, hitam, dan fakir. Kainnya usang, pakaiannya lusuh, kakinya pecah-pecah tidak beralas. Tidak ada rumah untuk berteduh, tidur hanya berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tidak ada perabotan, minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan. Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, “Jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!” demikianlah keadaan Julaibib pada saat itu.
Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tidak satu makhluk pun bisa menghalangi. Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaf terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam Shollallahu ‘alaihi wasallam sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam, “Julaibib…”, begitu lembut beliau memanggil, “Tidakkah engkau menikah?”
“Siapakah orangnya Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam”, kata Julaibib, “yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”
Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam juga tersenyum. Mungkin memang tidak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam menanyakan hal yang sama. “Julaibib, tidakkah engkau menikah?”. Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.
Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar. “Aku ingin menikahkan putri kalian.”, kata Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam pada si empunya rumah, “
“Betapa indahnya dan betapa barakahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa sang Nabi lah calon menantunya. “Ooh.. Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.”
“Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam, “ku pinang putri kalian untuk Julaibib”
“Julaibib?”, nyaris terpekik ayah sang gadis
“Ya. Untuk Julaibib.”
“Ya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam”, terdengar helaan nafas berat. “Saya harus meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini”
“Dengan Julaibib?”, istrinya berseru, “Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lecak, tidak bernasab, tidak berkabilah, tidak berpangkat, dan tidak berharta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kita menikah dengan Julaibib”
Perdebatan itu tidak berlangsung lama. Sang putri dari balik tirai berkata anggun, “Siapa yang meminta?”
Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.
“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku”. Sang gadis yang shalehah lalu membaca ayat ini :
“Dan
tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab : 36)
Dan sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Jangan Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”
Doa yang indah.
Pelajaran dari Kisah Julaibib
Kita belajar dari Julaibib untuk tidak meratapi diri sendiri, untuk tidak menyalahkan takdir, untuk selalu pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tidak mudah menjadi Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas.
Memang pasti, ada batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampaui. Tapi jika kita telah taat kepada Allah, jangan khawatirkan itu lagi. Ia Maha Tahu batas-batas kemampuan diri kita. Ia tidakkan membebani kita melebihi yang kita sanggup memikulnya.
Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika kita bertidakwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah yang di luar kuasa kita.
Urusan kita adalah taat kepada Allah.
Maka benarlah doa sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar baginya. Maka kebersamaan di dunia itu tidak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang istri shalehah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib telah dihajatkan langit mesti tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang bersikap tidak terlalu bersahabat padanya.
Saat syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi ia akan mengajarkan sesuatu kepada para sahabatnya. Maka ia bertanya diakhir pertempuran. “Apakah kalian kehilangan seseorang?”
“Tidak Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam!”, serempak sekali. Sepertinya Julaibib memang tidak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka.
“Apakah kalian kehilangan seseorang?”, Sang Nabi bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.
“Tidak Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam!”. Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tidak seyakin tadi. Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri.
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam menghela nafasnya. “Tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.
Para sahabat tersadar,“Carilah Julaibib!”
Maka ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di sekitarnya tergolek tujuh jasad musuh yang telah ia bunuh. Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. Beliau Shollallahu ‘alaihi wasallam menshalatkannya secara pribadi. Dan kalimat hari berbangkit. “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari dirinya.”
Di jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tidak suka. Melampaui batas cinta dan benci. Karena hikmah sejati tidak selalu terungkap di awal pagi. Karena seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat. Tapi yakinlah, di jalan cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita. Dan Dialah yang akan menyutradarai pentas kepahlawanan para aktor ketaatan. Dan semua akan berakhir seindah surga. Surga yang telah dijanjikanNya.
“Apalah ertinya rupa yang cantik dan kedudukan yang tinggi, tapi rumah tangga porak peranda. Suami curang terhadap isteri, manakala isterinya juga bermain kayu tiga di belakang suami. Apalah yang dibanggakan dengan harta kekayaan yang melimpah ruah tetapi hati tetap tidak senang malah selalu bimbang dan cemas kerana diburu orang ke mana pergi. Memadailah rezeki yang sedikit yang Allah kurniakan tetapi berkat. Memadailah dengan suami yang dijodohkan tiada rupa asalkan suami tersebut dapat memberi kebahagiaan di dunia dan lebih-lebih lagi Akihrat.”
Sedekah Berbalas Surga | 05.47 |
Filed under:
|
by editor
Aktivitas sedekah atau shodaqoh adalah amalan yang mulia, seseorang yang melakukannya akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah. Namun akhir-akhir ini, banyak orang lebih menekankan berbuat amalan berderma ini dengan iming-iming balasan dunia yaitu menjadi kaya raya, bisnis lancar, dsb. Padahal tidak selayaknya amalan akhirat kita niatkan untuk mencari dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بشر هذه الأمة بالتيسير والسناء والرفعة بالدين والتمكين في البلاد والنصر فمن عمل منهم بعمل الآخرة للدنيا فليس له في الآخرة من نصيب
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemudahan, kedudukan dan kemulian dengan agama dan kekuatan di muka bumi, juga akan diberi pertolongan. Barangsiapa yang melakukan amalan akhirat untuk mencari dunia, maka dia tidak akan memperoleh satu bagian pun di akhirat.” (HR. Baihaqi)
Pada kesempatan kali ini, akan kami ketengahkan sebuah kisah dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana motivasi mereka dalam membelanjakan harta mereka di jalan Allah. Kisah yang patut kita jadikan teladan tersebut adalah kisah sahabat Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Utsman bin Affan adalah seorang saudagar yang kaya raya dan seorang khalifah, amirul mukminin, bersamaan dengan itu beliau juga seorang yang dermawan dan terbiasa hidup sederhana. Yunus bin Ubaid mengisahkan bahwa al-Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang para sahabat yang tidur qailulah (istirahat di pertengahan siang) di dalam masjid. al-Hasan menjawab, “Aku melihat Utsman bin Affan tidur qailulah di Masjid, padahal saat itu dia sudah menjadi Khalifah. Setelah bangkit, bekas kerikil terlihat menempel di pinggulnya. Kami pun berkata, Lihatlah, dia adalah Amirul Mukminin; lihatlah, dia adalah Amirul Mukminin.” (HR. Ahmad).
Adapun kisah tentang kedermawanannya dan berharap pahala akhirat dari amalan tersebut adalah sbb:
Menghibahkan Utang Seseorang karena Keshalehannya
Diriwayatkan dari Ibnu Jarir bahwa Thalhah datang menemui Utsman bin Affan di luar masjid dan berkata kepada beliau, “Uang 50.000 yang dulu aku pinjam sekarang sudah ada, kirimlah utusanmu untuk datang mengambilnya.” Utsman menjawab, “Uang tersebut sudah kami hibahkan untukmu karena kepahlawananmu.” (al-Bidayah wa an-Nihayah)
Membeli Sumur Untuk Kepentingan Kaum Muslimin
Tatkala rombongan kaum Muhajirin sampai di Madinah, mereka sangat membutuhkan air. Di sana terdapat mata air yang disebut sumur rumah milik seorang laki-laki dari bani Ghifar. Laki-laki itu biasa menjual satu qirbah (kantong dari kulit) air dengan satu mud makanan. Melihat hal ini, Rasulullah bertanya kepadanya, “Sudikah kamu menjualnya dengan ganti satu mata air di surga?” Laki-laki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak punya apa-apa lagi selain sumber air ini. Dan aku tidak bisa menjualnya memenuhi permintaan Anda.”
Pembicaraan tersebut didengar Utsman bin Affan. Tidak lama kemudian, ia membeli sumur tersebut dengan harga 35.000 dirham. Selanjutnya, dia menemui Nabi dan bertanya, “Akankah aku mendapatkan mata air di surga seperti yang Anda janjikan kepada laki-laki dari bani Ghifar tadi?” Beliau menjawab, “Tentu” Utsman pun berkata, “Kalau begitu, biarlah aku yang membelinya, dan aku mewakafkan untuk kaum muslimin.” (Siyar A’lamin Nubala, 2/569).
Utsman bin Affan benar-benar mengharapkan pahala akhirat dari pemberian yang ia lakukan.
Membebaskan Hamba Sahaya
Dari Abu Tsaur al-Fahmi, pada suatu hari Tsaur pernah menemui Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Perhatikanlah apa yang dikatakan Utsman berikut ini, beliau tidak pernah berharap dunia dalam amalan akhiratnya, dalam derma, dan pemberiannya. Utsman berkata, “Aku mengharapkan Rabbku; (1) aku adalah orang keempat dari empat orang pertama yang masuk Islam, (2) aku tidak pernah berdusta, (3) aku tidak mengharapkan dunia dan mendambakannya, (4) setelah berbaiat di hadapan Rasulullah, aku tidak pernah meletakkan tangan kananku di kemaluanku, sejak memeluk Islam, (5) aku tidak pernah melewatkan satu Jumat pun tanpa membebaskan seorang budak (hamba sahaya), (6) jika pada hari Jumat itu aku tidak mempunyai budak, maka aku memerdekakannya pada hari berikutnya, (7) aku tidak pernah berzina, baik itu pada masa jahiliyah maupun pada masa Islam, (8) aku ikut menyediakan perbekalan pasukan Islam dalam menghadapi Perang Tabuk, (9) Nabi menikahkanku dengan putrinya (Ruqayyah) hingga dia meninggal dunia, kemudian beliau menikahkanku dengan putri beliau yang lain (Ummu Kultsum) dan (10) Aku tidak pernah mencuri semasa Jahiliyah maupun semasa Islam.” (Tarikh ath-Thabari, 4/390).
Keutamaan-keutamaan Utsman di atas sekaligus sebagai jawaban bagi mereka yang berani merendahkan kehormatan dan mencela seorang sahabat yang dua kali dinikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan putrinya ini.
Inilah beberapa contoh pemberian yang dilakukan oleh Utsman bin Affan yang kesemuanya dimotivasi oleh balasan surge, bukan balasan dunia. Hendaknya kita pun demikian, ketika bersedekah dan memberi kita hadirkan niat akhirat di hati kita, bukan niat mencari kekayaan materi dunia.
Memang terkadang motivasi dunia dibutuhkan untuk mengikis rasa pelit yang bersemayam di dalam hati atau untuk memotivasi orang-orang yang masih lemah keimanannya terhadap akhirat. Sebagaimana sebagian orang-orang yang didakwahkan Nabi Muhammad kepada Islam, mereka berharap harta dari keislaman tersebut, namun setelah keimanan mereka meningkat, mereka pun mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari sebelumnya, yakni mengedepankan akhirat dari balasan dunia.
Tinggallah orang-orang yang bersedekah dengan motivasi dunia, apakah mereka ingin naik “kelas” atau tetap berada di level terbawah. Wallahu waliyu at-taufiq..
Romantisme Rasulullah Bersama Istri-Istrinya | 05.42 |
Filed under:
|